Yang hendaknya menjadi hikmah yang didapat dari berbagai kasus hukum adalah kesadaran adanya "perselingkuhan tingkat itnggi" yang dilakukan oleh para elit secara masif di berbagai sektor. Kontroversi murahan menimbulkan tragedi kemanusiaan dan tragedi hukum yang tidak lagi manusiawi dan di luar batas-batas dan parameter akan harapan peradaban yang lebih baik. Hukum yang notabene dihasilkan secara parsial tanpa melibatkan dimensi Ilahiyah/KeberTuhanan dan keutuhan makna profetik akan universalitas kealamsemestaan sangat menindas manusia(otonom) dan kemanusiaan milikNya(kebergantungan kepadaNYA). Secara jelas terungkap dan terlihat bahwa hukum sedemikian rupa tidak pernah bekerja berasaskan dan berlandaskan dasar keimanan yang kokoh dan sistemik, filosofi keilmuan dan obyektivitas amal kebajikan agar pantas menjadi landasan peradaban unggul yang inklusif. Hukum selama ini hanyalah tidak lain sebagai permainan kepentingan yang jauh dari keadilan. Keadilan tanpa kuasa adalah kelemahan kolektif seluruh/semua pemangkunya. Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani yang menipu dirinya sendiri&pihak terzalimi, memperdaya sumber daya yang harusnya bisa menyejahterakan tetapi dieksploitir secara rakus, dan memanipulasi keseluruhan aktifitas kekuasaan menjadi korupsi yang membudaya. Kebijakan yang diambil bukanlah pencerminan sikap dan tindakan yang hakiki yaitu, menegakkan keadilan dan kebenaran tetapi hanyalah mendinginkan atau bahkan "memetieskan" kejahatan massal atau pro status quo. Menurunnya kepercayaan pada titik yang terendah, frustasi kolektif secara psikologi dan tidak adanya lembaga yang kredibel dan independen, dimana semua terkontaminasi secara berjamaah, seharusnya membangkitkan kesadaran baru akan diberlakukannya sistem dan mekanisme hukum yang transparan, teraudit kinerjanya secara terpola dengan mengakhiri debat kusir, retorika, pamer kemampuan menguasai sumber daya, dan umbar pernyataan yang kontroversial. Perhatian publik akan kepastian hukum dan tegaknya rasa keadilan publik harus segera dijawab. Tidak ada lagi dalam kamus hukum kata pragmatisme dan "yang praktis-praktis saja". Trinitas prosedur proses hukum diawali dengan memfaktualkan apa yang sebenarnya terjadi, kemudian membuktikan siapa yang sebenarnya bersalah dan diakhiri hukumlah yang bersalah secara manusiawi(halus/kasar, tinggi/rendah,besar/kecil). Kepemimpinan yang saleh harus mempu memenuhi kebutuhan dasar akan hukum ini, bukan malah membuatnya sumir/mengaburkannya. Dibutuhkan manusia hukum yang berintegritas, yang mengkreasikan sejarah atas bertemunya keadaban dan hikmah bagi keadilan untuk semua, dalam kesadaran kolektif. Hukum bukan sekedar proforma keduniaan, dia melewati batas-batas dan ruang-ruang subyektifitas manusia.Membedakan dan mengklasifikasikan manusia dihadapan hukum adalah pelajaran bahwa kekerasan dan kekejaman kepada pihak tertentu kemudian kelembekan dibalik "kooperatif'/penyuapan dan tingkah laku koruptif lainnya perlu dipilah-pilah dan ditangani secara kasuistik untuk tegaknya misi provetik dalam bidang dan ranah hukum. Pembebasan yang menyeluruh dari kutukan dan azabNYA ini, segeralah diawali dengan deklarasi tegaknya Hukum Tuhan di muka bumi pada akhir zaman/kekinian
Media Solusi Hukum Di Nusantara Terkini
Komentar
Posting Komentar